Hari jumat, tanggal 5 Februari 2010. Kala itu jam tanganku menunjukkan pukul 18.45 WIB. Aku sudah selesai bersiap-siap untuk pergi, aku mengenakan jaket jeans favoritku, mengambil kunci motor, dan menenteng helm menuju parkiran asrama TPB ITB Kidang Pananjung. Aku berniat akan pergi ke BEC (Bandung Electronic Center). Aku tergolong mahasiswa baru di ITB, sehingga belum begitu hafal jalanan kota Bandung. Aku memacu motor melewati simpang Dago menuju selatan. Beberapa waktu kemudian aku sampai di depan Gramedia, aku berniat parkir di sana karena lokasi BEC ada di belakang Gramedia dan tempat parkir di sana biasanya penuh di akhir pekan. Ternyata tempat parkir sudah penuh, maklum akhir pecan. Akhirnya, karena jalan searah, aku melaju terus dan memutari jalan menuju ke parkir belakang Gramedia. Setelah sampai disana, ternyata tempat parkir belakang Gramedia juga penuh. Dan karena jalan disitu juga searah, aku terpaksa memutar lagi, kali ini aku memutuskan parkir di BEC walaupun berdesak-desakan.
Setelah menitipkan helm (maklum helm baru, hehe), aku pun masuk ke BEC. Disana aku melihat-lihat notebook, handphone, modem, dan lain-lain. Padahal aku hanya membeli headset untuk notebook, tapi aku menghabiskan 1 jam, karena diumumkan lewat pengeras suara bahwa keadaan diluar BEC sedang hujan. Ketika itu jam tanganku menunjukkan pukul 19.58, aku menyeberang jalan menuju Gramedia untuk melihat-lihat buku obralan. Kemarin aku melihat temanku membeli buku bagus di sana dengan harga murah, maka aku juga ingin mencari beberapa buku pembangun yang inspiratif untuk dibaca di waktu luang.
Kala itu hujan rintik-rintik, banyak sekali anak-anak penjaja ojek paying, mulai dari anak usia SD hingga SMP. “Payung Pak, payung Buk”, teriak mereka menjajakan jasa. Setelah sampai di Gramedia, aku berteduh dulu di emperan took, tidak langsung masuk. Ketika itu aku melihat gadis kecil penjaja ojek payung memakai kerudung kira-kira seumuran anak kelas 3 SD. Dia terjatuh dan menangis, sepertinya dia bertengkar dengan temannya sesame penjaja ojek payung dan didorong, karena aku melihat seorang gadis kecil lain memarahi seorang anak laki-laki, sepertinya dia yang mendorong gadis kecil itu. Gadis kecil berkerudung itu masih menangis sambil bersimpuh ditengah guyuran hujan. Gadis kecil yang tadi memarahi anak laki-laki itu berjalan ke arah si gadis kecil berkerudung dan mencoba menenangkannya. Gadis kecil itu masih menangis, lalu ada anak lelaki penjaja ojek payung lain yang datang menghampiri gadis kecil itu. Dia memayungi gadis kecil itu dengan payungnya dan menunuduk mengambil payung gadis itu dan menyerahkannya padanya, “ini payungmu, sudah jangan menangis lagi”, tentu saja aku tidak benar-benar mendengar dia berkata seperti tiu, aku hanya menyimpulkannya dari situasinya. Gadis kecil itu berdiri sambil mengusap air matanya dan memegang payungnya. Oh my God, pemandangan itu benar-benar membuatku hampir menitikkan air mata, SO SWIIIITTT. Lalu datang lagi seorang anak laki-laki yang kira-kira seusia anak kelas 6 SD. Dia mengambil payung gadis kecil itu, melipatnya, dan menjulurkan tangan pada gadis itu. Gadis itu mengeluarkan segenggam uang ribuan yang terlihat kumal dari kantong celananyanya dan menyerahkannya pada anak laki-laki kelas 6 itu. Lalu gadis kecil itu melangkah pergi menuju jalan raya, beberapa langkah kemudian ia menoleh, sepertinya ia sangat sedih, berjalan seorang diri di kegelapan malam, dibawah guyuran hujan. Anak laki-laki itu berjalan kearahku, dari situasi tadi mungkin dia ketua pengojek payung, tapi entah mengapa perasaanku mengatakan sepertinya dia adalah kakak gadis kecil itu, sepertinya dia meminta penghasilan hari itu dan menyuruh adiknya pulang sendiri. Setelah hampir sampai ke emperan Gramedia, ada anak lain yang bertanya pada anak laki-laki kelas 6 itu, entah apa pertanyaannya, lalu anak laki-laki itu menjawab “3 ribu!”, dengan nada setengah kesal.
Ketika itu aku benar-benar menangis, entah kenapa, peristiwa itu mengingatkanku pada adikku, Viviane Rizqi Fauzi yang saat ini berada jauh di Klaten, Jawa tengah. Setengah kesal pada anak lelaki yang menelantarkan adiknya itu, tapi lebih kesal pada diriku sendiri. Betapa aku merasa aku ini kakak yang paling buruk sedunia, betapa aku tidak pernah merasa menghargai ketulusan seorang Viviane ketika ia menjulurkan tangannya padaku menawari makanan kecil, atau tawarannya untuk membelikan sesuatu untukku tiap dia akan jajan. Ataupun senyum manisnya setiap aku pulang ke Klaten, sungguh saat itu aku ingin menangis sekeras-kerasnya, berteriak sekeras-kerasnya pada dunia tentang betapa bodohnya aku ini. Tentu saja hal itu tidak kulakukan, aku hanya menitikkan air mata, tapi tangisan yang ditahan ternyata lebih menyakitkan, hatiku terasa tersayat-sayat sembilu saat itu. Bahkan saat aku menulis dan membaca kembali tulisan ini, aku kembali menagis dalam hati.
Lalu aku berjalan ke rak buku dan memilih buku-buku yang akan kubeli. Ketika itu aku melihat buku tipis ber-hard cover berjudul “FABLED WISDOM for modern life, Dongeng-Dongeng Alegoris untuk Kehidupan Modern” karya Nia Kurniawati dan Dedek Sri Ulfah. Ketika memandang buku cerita fable tersebut, aku langsung teringat pada adikku, betapa aku merasa sangat sayang padanya. Andai saja kamu disini sekarang dik, aku ingin membuat kau tersenyum dan tertawa seperti biasanya. Aku langsung membayar buku itu dan membawanya pulang. Perjalanan pulangku diiringi oleh hujan deras, tapi aku tak peduli lagi, aku ingin segera mengabadikan momen itu dalam tulisan ini. Besok aku akan memaketkan buku ini buat adikku tersayang di Klaten, tunggulah dik, kakak sayang kamu.
Rabu, 12 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar